Salman menambahkan, adapun pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah masalah isu perdamaian dan konflik Aceh sampai hari ini belum selesai. Dengan demikian, kata dia, para sastrawan dan penyair perlu mengkomunikasikan karya mereka hingga pesannya sampai kepada siapa saja, baik kepada masyarakat, pemerintah, dan pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang terkait.
“Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, hasil karya sastrawan penyair dengan sejumlah puisi yang berhasil kita kurasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hal tersebut, dan kita berharap puisi dalam buku ini bisa menjadi media lintas waktu, wilayah dan media lintas peradaban dan estetika,” jelasnya.
Inisiator buku antologi Bunga Rampai Puisi Indonesia, Pilo Poly mengatakan, usai tahap kurasi, seluruh karya akan masuk pada tahap selanjutnya, yakni layout dan rancangan cover. Sementara itu, panitia juga tengah menunggu kata pengantar dan epilog untuk kelengkapan buku tersebut.
“Saat ini kita juga sedang menunggu beberapa tulisan pelengkap lainnya, seperti kata pengantar, dan epilog. Sementara untuk naskah Prolog sudah kita terima,” jelas Pilo, sapaan akrabnya.
Pilo melanjutkan, semangat 15 Tahun Perdamaian Aceh menjadi titik berangkat buku antologi ini dibuat. Dari semangat itu pula, kata dia, buku ini akan lahir meski puisi-puisi di dalamnya adalah puisi yang sudah pernah atau belum dipublikasikan sama sekali oleh penulisnya.
“Melihat Aceh dari berbagai sudut pandang bahasa kepenyairan adalah anugerah yang tidak bisa dilupakan. Apalagi, sudut pandang tersebut mewarnai Aceh dalam fase ganas konflik, tsunami hingga perdamaian. Ingatan tiga masa ini menjadi perjalanan panjang tak berbatas untuk berbenah,” jelasnya.