Pengamat sosial politik sekaligus penikmat sastra Fachry Ali mengatakan bahwa ruang ekspresi yang berkembang di Aceh secara sosiologis menggambarkan situasi kesejarahan yang mengungkapkan dua jalur arus sejarah; politik dan ideologi.
Jalur politik dilihat dari benturan antara kekuatan di Aceh dengan di luar Aceh. Adapun puisi yang lahir akibat benturan politik dan ideologi ini menentukan cita rasa ungkapan khas Serambi Makkah seperti hikayat Prang Sabil.
“Hikayat Prang Sabil yang kita tahu adalah respons intelektual keagamaan terhadap situasi peperangan Aceh, di mana Aceh pada waktu itu 1880-an hampir tidak punya kans untuk menang melawan Belanda yang dimulai 1873. Bahkan elit-elit penguasa Aceh sudah lebih memperlihatkan kecenderungan menyerah yang tampil mengambil kepemimpinan itu adalah ulama,” kata Fachry yang juga tokoh Aceh di Jakarta ini.
“Dan ulama tidak punya modal lain kecuali agama. Hikayat prang sabil adalah respons keagamaan yang bersifat intelektual untuk memberikan jawaban terhadap realitas peperangan Aceh,” katanya lagi.
Sementara penulis novel ‘Samudera Pasai’ Putra Gara mengapresiasi peluncuran buku ‘Seperti Belanda: Dari Konflik Aceh ke MoU Helsinki’.
Menulis Aceh kata dia memang tak pernah habis. Pasalnya, provinsi ujung barat Sumatra itu adalah narasi yang dimaknai menjadi sebuah ruhaniah.
“Konflik Aceh adalah kehidupan yang menjadi catatan tersendiri buat saya, karena saya pernah menulis di catatan lama bahwa saya membawa Aceh dalam sebongkah dendam yang nyata,” kata Gara.