“Saya sendiri awalnya agak heran, bagaiman seorang Raden Saleh mampu beradaptasi dalam proses berkarya kolonial yang begitu kental. Tetapi ketika saya telusuri silsilahnya, beliau bukan hanya berdarah bitu, tetapi juga ada DNA Asia Timur yang garisnya ke Husein cucu Nabi Muhammad. Jadi adaptasi perpaduan proses berkaryanya ini menjadi tidak aneh lagi,” terang Vukar.
Lebih jauh Vukar menjelaskan, 25 tahun Raden Saleh di Eropa, telah mampu meningkatkan citra dirinya sebagai seniman yang sangat mapan dari berbagai hal. Tetapi ketika ia kembali ke Hindia Belanda, jiwanya tepukul oleh keadaan. Karena kemegahan kaum kolonial adalah kesengsaraan para pribumi, yang notabenenya adalah saudara satu ibu pertiwi. Tepuk tangannya kaum kolonial, adalah isak tangis dari keadaan pribumi.
Raden Saleh meradang, dan tidak menerima keadaan. Maka lahirlah karya-karya seperti Berburu Banteng, sebagai sindiran dari keadaan. Dan yang sangat fenomenal adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro.
“Saat Raden Saleh mendapat beasiswi ke Eropa, usianya masih 14 tahun. Ia belum memahami dan mengerti seutuhnya kondisi negerinya. Begitu balik ke negerinya, ia tercengang melihat keadaan sebenarnya…” cerita Vukar.
Acara yang dipandu oleh Putra Gara yang juga Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Bogor ini dimulai dari jam 15.00 – dan berakhir menjelang magrib, lalu dilanjut buka puasa bersama.*** (Rizki)