Faktor-faktor yang memengaruhi politik uang di antaranya faktor kemiskinan. Money politics menjadi ajang masyarakat mendapatkan uang. Mereka yang menerima uang terkadang tidak memikirkan konsekuensi, yakni termasuk tindakan menerima suap dan jual beli suara yang melanggar hukum. Yang terpenting mereka mendapat uang dan dapat memenuhi kebutuhan hidup,”tuturnya.
Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik,menurut Asep juga penyebab politik uang, karena tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan politik.
“Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah atau masyarakat sendiri yang kurang peduli terhadap politik,”katanya.
Masih menurut Asep,ketika ada hajatan politik, seperti pemilihan umum, masyarakat bersikap mengabaikan esensi dan lebih mengejar kepentingan pribadi sesaat.
Faktor budaya mendukung politik uang. Bahwa politik uang adalah hal biasa dalam kontestasi pemilihan di tingkat pusat maupun desa.
“Pepatah jer basuki mawa beya dipahami keliru dengan memaknai wajar orang yang ingin berkuasa mengeluarkan banyak uang dan harta,”ucapnya.
Ditanya soal sanksi politik uang di Pilkades, Asep mengatakan,kasus politik uang belum mendapat perhatian lebih dalam perundang-undangan kita.
Tidak kita temui pengaturan urusan ini UU No. 6/2014 tentang Desa, padahal jika kita kembali membuka sejarah, UU Desa menjadi dasar transformasi desa yang lebih mandiri,”terangnya.
Asep menuturkan,dalam UU Desa tidak ada aturan jelas mengenai mekanisme penanganan tindak pidana politik uang. Sangat berbeda dengan UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum dan UU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang secara detail mengatur penanganan tindak pidana politik uang.