Dedi kemudian membeberkan kronologis pengusaha PT Sulindafin Tgl 28 November 2019 menutup produksi dengan memberikan kompensasi 70% dari 1 kali ketentuan pasal 156 UU 13/2003. Penutupan produksi yang dilakukan pengusaha PT Sulindafin ada indikasi kecurangan.
Melihat yang terjadi dipabrik PT Sulindafin Bekasi, pada bulan Mei pengusaha menutup produksi dengan alasan yang tidak jelas dan kompensasi yang ditawarkan sama yaitu 70% dari 1 kali pasal 156.
Kemudian Bulan Juli pengusaha membuka lowongan kerja dengan status Harian lepas. Hal yang sama akan diterapkan di PT Sulindafin Tangerang. Buruh yang sudah bekerja puluhan tahun bahkan ada yang sampai 38 tahun di PHK dengan kompensasi seadanya lalu disuruh bekerja kembali dengan status Harian lepas.
Tidak berhenti sampai disana tanggal 01 Desember 2019 kepesertaan BPJS Kesehatan langsung di putus. Pihak BPJS Kesehatan menyatakan bahwa pemutusan kepesertaan BPJS sudah sesuai dengan ketentuan dalam Perpres No 82 tahun 2019 pasal 42 yang menyatakan bahwa:
“Apabila pengusaha tidak membayar iuran maka kepesertaan BPJS akan diputus sampai dibayarkan kembali iurannya,”bebernya.
Dedi mengisahkan, dampak dari diputuskanya kepesertaan BPJS Kesehatan bukan hanya bagi buruh PT Sulindafin tetapi keluarga yang ditanggungnyapun yaitu anak dan Istri.
“Dalam waktu satu bulan sudah tujuh kasus yang berhubungan dengan BPJS harus dialami buruh yang sudah tidak mendapat upah,”ungkap Dedi.
Buruh PT Sulindafin saat ini sudah tidak menerima upah, kepesertaan BPJS diputus dan pihak BPJS hanya menyarankan untuk menjadi peserta mandiri. Tanpa berpikir bahwa buruh tidak mendapatkan upah, bagaimana membayar iuran yang saat ini sudah naik 100%.