Narasi pemenuhan janji-janji Nota Kesepakatan Damai RI-GAM (MoU Helsinky) sudah sering disuarakan para pimpinan GAM, tetapi lagi-lagi sebagian besar point-point MoU itu semakin tergerus ketika diterapkan ke dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA No. 11 Tahun 2006) yang memberikan kesempatan kepada Aceh untuk melaksanakan pemerintahannya seluas-luasnya atau self government, kecuali bidang pertahanan, keamanan, keagamaan, fiskal, hubungan luar negeri dan kehakiman. Namun UUPA tersebut jauh dari harapan masyarakat sesungguhnya. Menurut Fauzan, tidak sedikit orang Aceh merasa ditipu oleh Jakarta.
“Sebagai contoh dalam masalah kehutanan; Pasal 150 UUPA tentang pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), bahwa Hutan KEL diserahkan kepada Aceh, tetapi dikurangi kewenangannya dengan menerapkan Standar, Prosedur dan Norma yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI. KEL sendiri bernasib seperti seekor kambing yang banyak pemilik dan masing-masing pemilik mengikat talinya ke leher kambing. Sehingga harapan masyarakat Aceh agar hutannya dikelola oleh Dinas Konservasi Aceh semakin jauh dari harapan,” ungkap Fauzan.
Lebih jauh Fauzan menjelaskan, penerapan Standar, Prosedur dan Norma setiap pasal-pasal UUPA adalah bentuk ketidakikhlasan Jakarta terhadap Aceh. Apalagi yang perlu dikhawatirkan tentang Aceh? Apakah masyarakat Aceh bukan masyarakat Indonesia? Sehingga patut dicurigai. Bukankah semua akar masalah konflik RI dan GAM karena ketidakadilan Jakarta terhadap Aceh? Tidak bolehkah Aceh mendapatkan sedikit kelebihan dari provinsi lainnya mengingat sejarah dan lamanya konflik di Aceh? Agar bisa setara dengan provinsi lainnya di Indonesia.