DEPOK, transnews.co.id | Membaca fenomena nasional, dari tulisan Tempo 16 April 2019, Golput bisa terjadi
karena dilakukan secara sadar, karena tidak ada pemimpin yang layak dipilih yang
dapat memperjuangkan aspirasi warga.
Hal itu bisa bersifat politik maupun ideology dan menurut penelitian LIPI, jumlah Golput karena mereka benar-benar tidak mau memilih sangat kecil.
Namun, sangat menarik diamati bahwa hasil Pilkada Depok 2015, Golput mencapai 46 % dari jumlah pemilih tetapnya.
Maryono pendiri Barinas berpendapat tingginya Golput dalam konteks pemilu atau pilkada merusak tatanan demokrasi yang esensinya wujud penyaluran apirasi masyarakat untuk bertanggung
jawab memilih wakil atau pemimpinnya.
“Disamping itu secara financial, alokasi
anggaran untuk kepentingan PILKADA tidak efektif dan efisien dengan berlimpahnya
sisa logistik pilkada yang telah disiapkan” ungkapnya.
Saat dirinya ikut mendampingi Barinas blusukan sempat bertanya beberapa warga di beberapa tempat : Apakah bila saudara memilih di TPS itu memberikan dampak
terpilihnya pemimpin yang baik,
“Mereka menjawab, ya di Depok kita masih optimis warga ingin datang ke TPS untuk memilih” cerita Maryono.
Ketua Barinas, Ningworo merasa terpanggil menggerakan masyarakat untuk
datang ke TPS. Dia selalu menyampaikan yel yel Salam Tolak Golput dimana saja sambil blusukan dan berkumpul dengan anggota dan komunitas dalam rangka Pilkada Depok 2020.
Kami sangat prihatin hasil Pilkada 2015, dari pemilih terdaftar 1.222.029 , total suara sah 664.453 dan yang tidak sah/golput 557.576 atau 46% Golput. Dan kalau suara Idris sebagai pemenang dengan 411.367 suara artinya Pilkada Depok 2015 itu pemenangnya Golput.