“Seperti IUP yang dikeluarkan oleh Bupati Aceh Tengah yang diduga tidak memiliki rekomendasi dari Gubernur Aceh sesuai qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2001 dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh,” terang Gara.
Lebih jauh Gara menjelaskan, masa berlaku IUP perusahaan ini juga sudah melebihi 8 tahun, dan terindikasi melanggar Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.
Pasca berlakunya undang-undang no. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara yang diikuti dengan peraturan pemerintah tentang kegiatan usaha pertambangan yang diubah tiga kali yaitu pp. No. 23 tahun 2010, pp. No. 24 tahun 2012, pp. No. 1 tahun 2014 dan pp. No. 77 tahun 2014, memberikan ruang gerak pemerintah kabupaten / kota untuk menerbitkan IUP di provinsi aceh tentunya dengan argumentasi pengembangan investasi yang nantinya akan berdampak langsung terhadap peningkatan pendapatan masyarakat tempatan, lapangan pekerjaan serta peningkatan PAD.
”Pada kenyataannya, izin-izin tambang yang telah diterbitkan pemerintah kabupaten / kota melalui izin usaha pertambangan (IUP) tidak sesuai baik secara administrative, teknis, lingkungan, finansial dan kewilayahan,” terang Gara lagi.
Tentu Gara atas nama GPAB menolak rencana penambangan biji emas itu, selain merusak lingkungan dan mencemari air dengan limbah, kehadiran perusahaan juga tidak bermanfaat untuk masyarakat.
“Kami tidak mau hutan dan alam tempat kami menggantungkan hidup hancur, kami tidak mau situs sejarah Linge hancur, itu tempat sakral suci orang Gayo, Linge itu rumah peradaban kami,” tegas Gara.