Dalam perkembangannya ada dinamika baru, yakni Bendungan Jatigede di Sumedang yang membendung Sungai Cimanuk, 40 km (jarak lurus) ke arah hulu dari hulu Renteng. Jatigede itu bendungan kedua terbesar kedua di Indonesia, dengan kapasitas tampungan air 980 juta m3, yang bertugas mengairi 90 ribu ha sawah yang lain, dan harus memasok sebesar 3.500 ribu m3/detik untuk air baku PDAM di Sumedang dan sekitarnya. Jatah aliran ke Bendungan Renteng tentu berkurang.
Namun, Sungai Cimanuk di ruas antara Jatigede–Renteng juga menerima aliran air dari banyak anak sungai, yang mengalir dari daerah Sumedang, Kuningan, Subang, dan Majalengka sendiri. Toh, ketika hujan tak turun selama 4-5 minggu air dari Bendungan Renteng turun drastis.
Seperti terjadi pertengahan Juli 2021, hujan yang absen 5 minggu membuat debit SI Cipelang (ke arah Indramayu) tinggal tersisa 6,9 m3/detik, turun drastis dari kondisi normal di atas 30 m3/detik. Yang ke SI Sindupraja (ke Cirebon) tersisa 9,3 m3/detik dari debit normal sekitar 25 m3/detik. Curah hujan jadi faktor penentu, karena Bendungan Renteng tak punya timbunan air dalam jumlah besar.
Manajemen Lima Pilar
Kondisi ini masuk dalam kalkulasi manajemen air Ismail Widadi, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung. Bahkan, isu ini menjadi pilar pertama manajemennya. Maka, dalam pengoperasian Saluran Induk Cipelang dan Sindupraja, pasokan air dari Waduk Jati Gede via Sungai Cimanuk menjadi faktor pertama.
Pilar kedua, saluran air di jaringan irigasi SI Sindupraja dan Cipelang dipastikan beres, maksudnya tepat jumlah dan tepat waktu. Ukuran saluran, kemiringan, konektivitas, pintu air, dan angka kebocoran sekecil mungkin. Kebocoran saluran air akan menurunkan intensitas penanaman padi. Aspek kedua inilah yang sedang dikerjakan oleh Ismail Widadi dan timnya.