Itu sebabnya meski profesinya sama, wartawan cetak atau online merujuk ke Pasal 5 KEJ, 16 tahun dan belum menikah. Sedangkan wartawan penyiaran ikut P3 SPS dan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, belum 18 tahun, baik tidak maupun sudah menikah.
Dualisme tersebut berakhir setelah Dewan Pers menetapkan peraturan tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) pada 9 Februari 2019 yang bersumber dari UU SPPA sebagai berikut ;
1. Anak berhadapan dengan hukum adalah mereka yang belum berusia 18 tahun baik belum maupun sudah menikah, baik sebagai korban atau saksi tindak pidana.
2. Anak berkonflik dengan hukum adalah mereka yang berusia telah 12 tahun dan belum genap 18 tahun yang melakukan tindak pidana.
3. Identitas anak yang berhadapan dengan hukum tidak boleh dibuka dalam pemberitaan berbagai platform media.
4. Membuka identitas anak diancam pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 500 juta.
Terkait larangan dan ancaman serius Pasal 19 Jo. Pasal 97 UU SPPA, wartawan harus melakukan kerja jurnalistik presisi agar tidak terkena sanksi pidana !
Jurnalistik presisi adalah upaya mendapatkan usia tepat apakah seseorang sudah dewasa atau masih berstatus anak, saat polisi melakukan jumpa pers.
Bahasa saya pada catatan silam, wartawan harus kepo bertanya tentang tanggal, bulan dan tahun kelahiran seseorang yang kemungkinan anak berhadapan dengan hukum.
Saat polisi mengatakan tersangka atau korban berusia 18 tahun. Maka harus ‘dikejar’ usia 18 tahunnya sudah genap atau belum.
Tindak pidana dilakukan hari ini, Kamis 9 Juli 2020, biasanya atau pada umumnya mereka yang kelahiran 2018 disebut usia 18 tahun.