Klarifikasi CT Value 1,8
Penanggung jawab RSL Indrapura Surabaya Laksamana Muda Ahmad Syamsulhadi segera berbicara kepada wartawan untuk menduduksoalkan persoalan, di Surabaya, Jumat (10/9/2021). Menurutnya, RSL Indraputa telah memberikan layanan pemeriksanaan dan perawatan pada pasien Covid-19, terutama para PMI yang baru pulang dari luar negeri. Pada awal September lalu, misalnya, ada 148 pasien dan 122 di antaranya adalah PMI.
Sejak beroperasi bulan Mei silam, ribuan orang telah diperiksa di RSL Indrapura ini dan ditemukan pula banyak kasus positif Covid-19. Semuanya didiagnonis dengan mesin canggih PCR. Dari arahan Kemenkes, bila ada pasien dengan CT Value 25 atau kurang, pasien diminta diswab lagi dan sampel dikirim ke Litbang Kemenkes atau jaringannya untuk diperiksa dengan genome squencer agar bisa diketahui varian Covid-19 yang menyerangnya.
Namun, ternyata ada 879 pasien yang CT Value-nya 25 sejak Mei 2021. Karena jumlah itu dianggap terlalu banyak, dan Syamsulhadi tahu kapasitas laboratorium genome squencing terbatas, dia melakuan seleksi lagi, hanya yang CT Value-nya di bawah 15 atau yang mengalami gejala klinis parah dengan karakter yang agak berbeda yang dikirim untuk diperiksa variannya. “Jadi, yang dikirim untuk diperiksa lebih jauh hanya 78 sampel,” ujar dokter TNI berpangkat bintang satu itu. Sampel pun dikirim ke laboratorium. Tak lama beredar kabar ada pasien dengan CT Value 1,8 di Surabaya.
Dalam kesempatan yang sama, penanggung jawab pelayanan RSL Indrapura Fauqa Arinil Aulia menyatakan, ada kesalahpahaman pembacaan angka dalam kasus ini, terlepas kesalahan tersebut dari pihak mana. Dokter itu mengatakan, ada dua jenis mesin PCR yang digunakan, yakni reverse transcription PCR (RT-PCR) dan insulated isothermal PCR (ii-PCR).
“Kalau ada angka, mestinya kita cek dulu. Hasil itu diperiksa dengan instrumen apa, lalu laporannya seperti apa. Kalau CT value 1,8 yang kemarin heboh itu, alatnya itu isothermal PCR,” ujarnya. Dalam hal kasus CT Value 1,8 atas PMI asal Jawa Timur itu, menurut Fauqa, menggunakan ii-PCR, yang berbeda skalanya dari RT-PCR.
Secara umum, PCR bekerja dengan mengamplifikasi (menggandakan) jumlah genom sampel lewat proses reaksi polimerase berantai. Bila pasien dinyatakan positif Covid-19 dengan nilai cycle threshold (CT) rendah, sebut saja di bawah 20, ia berarti mendapat load virus yang tinggi, karena hanya dengan 20 kali putaran penggandaan, genome virus sudah bisa terdeteksi. Sebaliknya, bila CT value tinggi, load virusnya rendah.
Hal tersebut berbeda dari ii-PCR. Angka 1,8 atau 1,5 menunjukkan nilai ratio antara genome faktual dengan genome standar. Bila hasilnya 1,8 artinya positif Covid-19, bila CT Value 1,1 atau kurang itu berarti negatif. ‘’Kalau dikonversikan ke RT-PCR, CT Value 1,8 itu posisinya ada di bawah 20,” ujar Fauqa Arinil Aulia.
Artinya, dari tes itu didapati memang load virus tergolong tinggi. “Tapi, itu tidak bisa dipakai menentukan varian apa yang menyerang,’’ katanya menambahkan. Yang pasti, pasien tersebut telah dinyatakan sembuh setelah dirawat 12 hari.
Terus Waspada
Siti Nadia Tarmizi menegaskan, menurunnya tren insidensi Covid-19 tidak akan menyurutkan kewaspadaan pemerintah atas kemungkinan pemunculan varian baru. Gelombang kedua Covid-19 di Indonesia telah ditumpangi oleh amukan varian baru Alpha (B.117), Beta (B1.351), dan terutama Delta (B1.617.2). Bersama varian Gamma (P1) asal Brazil, keempatnya disebut variants of concern (VoC) yang terbukti punya kemampuan menular lebih cepat, dapat menembus proteksi vaksin dan menimbulkan akibat yang lebih parah.
Kelompok VoC itu terbukti mampu merajalela di berbagai negara. Belum lepas dari VoC, ada varian baru lain yang sepak terjangnya menjadi perhatian dunia yakni variant of interest (VoI). Mereka juga membawa potensi ancaman yang sama, dan hanya memerlukan bukti ilmiah untuk membuktikan mereka punya perbedaan dari strain virus sebelumnya.