Praktik mafia tanah sering kali melibatkan oknum di instansi terkait, seperti pejabat di pemerintahan, aparat penegak hukum, hingga notaris atau pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
Kolusi ini membuat mafia tanah semakin sulit diberantas karena mereka memiliki jaringan perlindungan yang kuat.
3. Proses Hukum
Sengketa tanah sering memakan waktu bertahun-tahun karena proses peradilan yang panjang dan rumit.
Hal ini memberikan celah bagi mafia tanah untuk terus beroperasi atau bahkan memenangkan kasus dengan berbagai cara, termasuk menyuap aparat yang terlibat.
4. Kesadaran atas Legalitas Tanah
Banyak pemilik tanah yang kurang memahami pentingnya legalitas tanah mereka, seperti melakukan sertifikasi atau mengecek status hukum tanah sebelum transaksi.
Akibatnya, mereka mudah menjadi korban mafia tanah yang menawarkan surat-surat palsu atau mencaplok lahan dengan berbagai modus.
5. Teknologi dan Pengawasan
Sistem pengawasan pertanahan masih memiliki banyak kelemahan, termasuk dalam pemetaan digital dan pencatatan hak atas tanah.
Mafia tanah sering memanfaatkan data yang belum terdigitalisasi secara menyeluruh untuk merekayasa kepemilikan tanah atau menggandakan sertifikat.
6. Koordinasi Antar Lembaga
Penanganan kasus mafia tanah melibatkan banyak pihak, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepolisian, Kejaksaan, dan Pemerintah Daerah.
Kurangnya koordinasi antar lembaga sering memperlambat proses pemberantasan dan membuat mafia tanah memiliki lebih banyak peluang untuk menghindari jerat hukum.