TN.JAKARTA l — Ambisi budaya global, kata Heru Mulyadi, sebaiknya tidak membiaskan nilai-nilai budaya lokal. Apalagi sampai memisahkan spirit generasi mudanya dari sejarah bangsa dan akar budayanya sendiri.
“Zaman ini ideologi dan warisan nilai kearifan hidup yang dianggap agung sering dimaknai secara sinis sebagai narasi lama. Sementara budaya global bersifat instan lebih mendapat tempat di hati masyarakat,” ujar seniman dan budayawan, Heru Mulyadi, saat dijumpai para wartawan di acara ‘Pengembangan Destinasi Wisata Berdasarkan Karakteristik Kawasan Kota Tua Jakarta 2019’ yang digelar di Museum Fatahillah, Jakarta Barat, Selasa (25/06/2019).
Kearifan lokal, termasuk diantaranya yang bersifat akulturasi, lanjut Heru, perlu mendapat pemahaman yang utuh. Akulturasi salah satunya menjadi indikasi adanya saling menerima terhadap kebudayaan yang berbeda. “Menjadi fondasi penting. Spirit, sikap, dan pandangan hidup bersama. Akulturasi diantaranya menciptakan toleran dan sikap saling menghargai walau budayanya berbeda,” ujar Heru lagi.
Budaya toleran, lanjut Heru, diperlihatkan bagaimana tempo dulu, nenek moyang bangsa Indonesia dapat hidup berdampingan walau berbeda suku dan bangsanya. Ada Nusantara, India, China, Arab (Timur Tengah), dan bangsa lainnya. “Bangsa-bangsa ini kemudian membentuk budaya baru, budaya Indonesia yang kita terima hingga hari ini,” ujar pendiri bengkel kreatif Gardu Seni ini.
Acara ‘Pengembangan Destinasi Wisata Berdasarkan Karakteristik Kawasan Kota Tua Jakarta 2019’ diselenggarakan oleh Unit Pengelola Kawasan Kota Tua Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, di taman museum Fatahillah. Menampilkan berbagai atraksi kesenian, seperti musik Gambang Kromong, Tanjidor, dan kesenian Betawi lainnya.