Musim datang dan pergi seraya meninggalkan fenomena cuaca yang makin menggelisahkan. Banjir besar dan longsor telah melanda berbagai tempat di belahan bumi utara. Negara-negara yang dulu dianggap bisa mengelola lingkungan alam dan tata ruangnya dengan cermat, seperti Kanada, Jepang, Korea Selatan, Jerman, Belgia, Belanda, Prancis, bahkan Norwegia, kini tak bisa lagi mengelak dari terjangan banjir.
Belum lagi serangan gelombang udara panas serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Di Kanada lebih dari 500 ribu ha hutan terbakar. Di Rusia 1,5 juta ha dan di Amerika Serikat (AS) 3,5 juta ha hutan ludes di makan api pada 2021. AS pun kini dikenal sebagai negara rawan banjir, karhutla, dan badai siklon tropis (hurricane).
Cuaca bukan lagi fenomena negara per negara, melainkan dampak dari iklim global yang kini telah terdisrupsi oleh perubahan iklim (climate change). Emisi karbon serta gas rumah kaca lainnya perlu direm supaya climate change tak makin menjadi-jadi. Masyarakat dunia pun bergerak memerangi perubahan iklim, dengan ikrar bersama yang diungkapkan lewat Perjanjian Paris 2015. Pelaksanaan perjanjian ini dikolaborasikan oleh Badan Dunia United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang bernaung di bawah PBB.
Dalam skema UNFCCC, perang melawan perubahan iklim itu adalah menekan emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya. Gas-gas rumah kaca itu yang memerangkap energi radiasi matahari di atmosfer, dan mengakibatkan suhu udara meningkat. Laporan terbaru menunjukkan, konsentrasi CO2 di udara sudah mencapai 417 ppm per Februari 2021, yang berarti telah terjadi kenaikan 50 persen sejak dua abad terakhir.