Jakarta, Transnews.co.id – Harga batu bara terus meroket naik dan kembali mencetak rekor baru. Memasuki akhir September 2021, harga emas hitam ini di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat USD191,1 per ton, sekaligus menjadikannya rekor tertinggi setidaknya sejak 2008. Permintaan batu bara di pasar internasional terus menguat, dan didorong pula oleh bayang-bayang musim dingin yang ekstrem di belahan bumi utara yang akan mulai bergulir dalam sebulan ke depan.
Penguatan harga itu tentu menjadi panen raya bagi pelaku usaha penambangan batu bara di tanah air. Pada 2020, Indonesia mengekspornya sebanyak 405 juta ton dengan nilai USD14,55 miliar. Tahun 2021, realisasi ekspor semester I turun sekitar 7 peren dari 2020 (year on year/yoy), namun permintaan melonjak pada semester II, sehingga volume ekspornya diyakini tumbuh dari 2020.
Pergerakan harga batu bara pada 2021 jelas lebih cerah dari 2020. Kementerian ESDM mencatat bahwa harga batu bara acuan (HBA) terus mengalami kenaikan sejak awal tahun. Meski sempat terkoreksi pada Maret 2021, harga batu bara konsisten naik seiring peningkatan permintaan. Secara berturut-turut, HBA sejak Maret merambat naik dari USD84,47 per ton ke USD6,68 per ton (di bulan April), USD89,74 per ton (Mei), USD100,33 per ton (Juni), USD115,35 per ton (Juli), dan tembus ke level USD130,99 per ton di Agustus 2021.
Memasuki September 2021, dipicu oleh krisis pasokan listrik yang mulai berjangkit di Tiongkok, akibat pemerintah setempat harus memastikan cadangan untuk musim dingin, harga batu bara meroket menembus harga tertinggi. Secara rata-rata, harga batu bara sepanjang Januari–September jauh di atas harga 2020. Bila harganya bertahan tinggi sampai akhir tahun, tidak mustahil devisa dari batu bara bisa menyalip ekspor minyak sawit (dan turunannya), yang pada 2020 membukukan nilai USD23 miliar.