Uniknya, mereka bertiga menyarankan agar bentuk tempat sampah maupun bentuk bak tempat sampah di mobil pengangkut sampah berbentuk kapsul, dan bukannya kotak seperti umumnya yang ada saat ini.
“Tempat sampah maupun bak pengangkut sampah kami rancang berbentuk kapsul untuk meminimalkan kebocoran. Sebab bak sampah dengan bentuk kotak lebih mudah bocor jika volume sampahnya besar” ungkap Ratih Wulandari.
Selain memikirkan bentuk bak sampah, mereka bertiga merancang alat pemroses kompos dan gas metana yang juga berbentuk kapsul.
Alat yang kami rancang ini menggunakan sistem composting anaerob yang berfungsi mengolah sampah organik menjadi kompos, gas metana dan air lindi sampah. Sementara untuk sampah anorganik dipilah untuk kemudian di daur ulang.
Dari 100 kilogram sampah organik yang diolah akan menghasilkan 80 kilogram kompos dan 20 liter gas metana, sementara air lindi akan ditampung dalam bak yang ada di bawah alat pengolah. Air lindi ini akan dimanfaatkan sebagai bahan pengolah kompos lagi. Harga satu alat pengolah sampah senilai 160 juta rupiah.
Miftah lantas menambahkan, sebenarnya TPA Pakusari telah memiliki alat pengolah sampah, namun sayangnya tidak ada pengelolaan yang baik sehingga alat-alat tadi terbengkalai tidak dimanfaatkan. Jadi memang harus ada revitalisasi TPA Pakusari, baik dari sisi sumber daya manusia maupun peralatan.
Saat observasi di lokasi, kami melihat tidak ada petugas yang mengoperasikan peralatan pengolah sampah, entah mengapa. Akhirnya sampah tidak pernah diolah, hanya ditumpuk begitu saja hingga menggunung.