“Sejak dahulu kala peringatan Maulid di Aceh selalu mengikuti protokol kesehatan, jauh sebelum adanya Covid-19. Antara lain adat mencuci kaki dan tangan sebelum masuk ke Meunasah atau Mesjid. Bahkan sejak dulu sudah dilaksanakan sejak nenek moyang bangsa Aceh, dengan menyediakan guci didepan rumah untuk cuci tangan dan kaki bagi tamu atau orang rumah yang pulang kerja, sebelum naik ke atas rumah harus bersih selain menjaga kesucian juga menjaga kesehatan,” terang Mawardi, sabtu (24/10/2020)
Menurut Mawardi, adat itu sudah berlangsung lama Sejak era Kesultanan Aceh Darussalam jadi bukan hari ini saja. Karenanya orang Aceh juga selalu membawa Bungkoh Ranup dan pinang dalam perjalanan dan boh ru pirak atau emas atau Kuningan.
Pada era Kesultanan Aceh Darussalam Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) ketika pelaut dan pedagang Asing dari berbagai belahan dunia datang ke Aceh, mereka tidak bisa sembarangan turun kedarat namun harus menunggu kadang sampai berminggu-minggu atau 3 bulan, untuk menjamin kesehatan awak kapal asing yang berlabuh di Aceh agar benar-benar sehat dan bersih.
Pada zaman Sultan Sayed Jamalul Alam (1703-1726) dalam peraturan rumah harus dipagar, boleh selapis dua lapis hingga tiga lapis selain menjaga dari musuh juga menjaga pemilik rumah dari bahaya berupa penyakit atau lainnya.
“Seharusnya Pemerintah Aceh dan Banda Aceh yang melaksanakan Syari’at Islam, dalam Bulan Maulid Nabi Muhammad SAW yang penuh berkah dan rahmat ini menghentikan proyek IPAL di Gampong Pande karena disitulah dimakamkan para raja dan ulama Aceh pejuang Kesultanan Aceh Darussalam. Bagaimana bisa merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dan mengaku bersyari’at Islam, sedangkan kubur para Raja dan Ulama pewaris nabi dijadikan tempat pembuangan tinja manusia, hal yang sama sebagaimana pasukan Crusader yang dulu membuang tinja di makam ulama pahlawan Islam dan menjadikan Baital Maqdis menjadi toilet,” kata Mawardi.