Di musim kemarau pula, angin yang kering dengan gampang membawa bara terbang, menyulut kebakaran lahan dan hutan. Sementara manakala musim penghujan tiba, bencana tanah longsor, banjir bandang, dan banjir yang merendam pemukiman menjadi fenomena yang kian biasa. Di sisi lain, di saat kemarau bisa jadi tak ada kekeringan dan waktu penghujan tak ada banjir, tetapi letak geografis Indonesia di wilayah cincin api atau ring of fire, masih memungkinkan datangnya bencana lain, yakni; gunung meletus ataupun gempa bumi.
Jika tidak dihadapi dengan keyakinan iman, seakan dengan gampang orang akan pasrah dan menyatakan bahwa memang manusia hidup ke dunia untuk menderita. Penderitaanlah yang menjadi ujian, apakah manusia bisa lulus dalam keimanannya atau tidak, yang berujung pada kemungkinan di akhirat ia akan menerima pahala atau bala.
Sikap pesimistis tersebut tidak saja menjadi perangai buruk. Padahal dari sisi ajaran agama, pesimistis bisa dianggap mata air dari dosa. Dalam al- Quran Surat Yusuf 87, dikisahkan Nabi Ya’qub AS berkata kepada putra-putranya; “…… dan janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tidaklah ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir.”
Sikap mulia justru ditunjukkan nelayan tua Santiago dalam novel ‘The Old Man and The Sea’ Ernest Hemingway. Si Nelayan tua itu bilang, “Orang bisa saja dihancurkan, tapi orang seharusnya jangan pernah bisa dikalahkan.” Dan bagi Santiago tua, seorang yang hancur sekali pun bukanlah orang yang kalah, manakala ia tak menyatakan diri menyerah.