Produk-produk margarin, selai mentega, dan campuran mi instan, merupakan contoh pemakaian hasil olahan oleokimia dengan proses yang sederhana. Untuk produk nonpangan bisa berupa sampo, sabun, lipstik. Bisa juga oleokimia ini diolah menjadi bahan bakar minyak seperti biodiesel.
Saat ini industri minyak kelapa sawit, dari kebun, bisnis perdagangannya, hingga ke pabrik-pabrik, melibatkan sekitar 21 juta orang tenaga kerja, termasuk yang bekerja paruh waktu. Dari 14 juta ha kebun sawit, 30 persen diusahakan di kebun rakyat, dan 70 persen lainnya oleh korporasi dan BUMN.
Keberadaan korporasi besar dan BUMN itu memungkinkan industri hilir lebih cepat berkembang, seperti yang terjadi selama ini. Untuk terus mendorong hilirisasi dan menjadikan Indonesia raja hilir di sektor oleokimia dari minyak nabati, strategi pemerintah tetap berfokus tiga jalur hilirisasi industri CPO.
Pertama, hilirisasi oleopangan (oleofood complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk antara oleopangan (intermediate oleofood) sampai pada produk jadi oleopangan (oleofood). Produk hilir oleopangan yang telah dihasilkan di dalam negeri, antara lain, minyak goreng sawit, margarin, selai mentega, vitamin A, vitamin E, es krim, shortening (lemak nabati), creamer, cocoa butter atau specialty-fat, dan banyak lainnya.
Kedua, hilirisasi oleokimia (oleochemical complex), yaitu industri yang bisa mengolah produk-produk industri refineryuntuk menghasilkan produk-produk, antara lain, oleokimia, oleokimia dasar, sampai pada produk jadi seperti produk biosurfaktan (seperti produk detergen, sabun, dan sampo), biolubrikan (biopelumas) dan biomaterial (contohnya,bioplastik).
Ketiga, hilirisasi biofuel (biofuel complex), yaitu industri-industri yang mengolah produk industri refinery untuk menghasilkan produk-produk antara biofuel sampai pada produk jadi biofuel seperti biodiesel, biogas, biopremium, dan lain-lain. Kini industri nasional biofuel mampu memproduksi 8,6 juta ton biodiesel dan per 2023 nanti akan memproduksi bioavtur di Kilang Pertamina Cilacap.
Tim dari ITB telah mengembangkan katalis khusus untuk memecah minyak nabati dari sawit menjadi minyak dengan rantai karbon yang rendah untuk avtur. Uji coba atas bioavtur itu sudah selesai, dan produk PT Pertamina itu dinyatakan layak untuk digunakan sebagai bioavtur J 2.40, dengan campuran avtur sawit 2,4 persen.
Masih banyak produk lain yang bisa dihasilkan. Maka, menurut Putu Ardika, dalam strategi besar itu akan dilakukan percepatan, dengan penggunaan minyak sawit kualitas IVO/ILO (industrial vegetable oil/industritrial luric oil) sesuai SBI nomor 8875.2020 (yang dirilis 2019) untuk produk oleokimia dan turunannya. Jadi, pelaku industri tak lagi harus menggunakan CPO/CPKO yang lebih mahal.
Ada pun tentang pilihan untuk produk hilir oleokimia itu banyak macamnya. Pelaku industri dapat mengkomersialisasikan hasil-hasil inovasi Balai Besar Industri Agro yang ada di bawah Badan Litbang Kemenperin. ‘’Pelaku industri akan dibantu dengan pilot plant yang disediakan pemerintah,’’ Putu Ardika menambahkan.
Pemerintah merasa perlu mendorong pelaku industri untuk terus meningkatkan daya saing dengan cara mengadopsi inovasi yang didukung teknologi yang lebih mutakhir. Fasilitas pilot pant adalah jalan yang membawa industri mengadaptasikan inovasi dari Balai Besar Industri Agro, agar kesenjangan antara skala industri dan skala penelitian bisa terjembatani. Jembatan itu dapat menyelamatkan dunia dari situasi buntu tanpa inovasi, keadaan yang oleh Putu Ardika disebut the valley of death.
Tren konsumsi dunia sendiri memilih produk-produk-produk minyak nabati untuk berbagai bahan kimia, termasuk energi biofuel, karena dianggap lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Tren dunia ini seperti arus yang mendorong minyak sawit menghilir. Jadi, tunggu apa lagi?