Jakarta, Transnews.co.id – Tak dipungkiri, negara-negara di dunia kini mau tidak mau harus mulai bergerak untuk menggunakan kekayaan alam yang dimilikinya berupa energi baru dan terbarukan (EBT) demi memenuhi keamanan pasokan energinya. Demikian juga dengan Indonesia.
Berpijak dari kesadaran itu, Indonesia pun terus menggenjot penggunaan EBT. Pemerintah menargetkan dalam 10 tahun mendatang kapasitas EBT di Indonesia bisa mencapai 20 gigawatt (GW).
Saat ini, seperti disampaikan Kementerian ESDM, realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik berenergi baru terbarukan hingga 2020 mencapai 10.467 megawatt (MW), naik menjadi 12.009 MW tahun ini. Dari total kapasitas tersebut, EBT masih didominasi oleh pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang mencapai 6.121 MW disusul pembangkit listrik panas bumi (PLTP) hingga 2.130,7 MW.
Kemudian, energi baru terbarukan di Indonesia juga mencakup pembangkit bioenergi 1.903,6 MW, pembangkit bayu/angin 143,3 MW, pembangkit tenaga surya 153,5 MW, serta pembangkit hibrida sebesar 3,6 MW.
Dari sejumlah potensi energi baru dan terbarukan, pemerintah belum lama ini telah memulai proses pengeboran slim hole panas bumi CKK-01 di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada awal September 2021. Menurut Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono, potensi sumber daya dari panas bumi di kawasan itu diperkirakan mencapai 45 MW. “Diharapkan apa yang sudah kita perkirakan, cadangan itu, dapat terbukti saat pengeboran nanti,” katanya
Sama seperti di sektor migas, eksplorasi, eksploitasi hingga menghasilkan produksi panas bumi membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Butuh waktu 7–10 tahun, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, hingga beroperasi. Artinya, sebuah proyek panas bumi merupakan aktivitas bisnis yang padat modal dan padat karya.