Pasalnya, sebagian besar kerugian proyek panas bumi disebabkan gagalnya eksplorasi. Hal tersebut menyebabkan harga listrik dari PLTP cukup mahal. Ini menyebabkan biaya subsidi kompensasi makin tinggi dan memberatkan APBN.
“Mahalnya biaya eksplorasi ini semua dimasukkan dalam komponen cost. Sehingga yang terjadi adalah, biaya listrik per kWh dari panas bumi itu jauh di atas rata-rata harga listrik. Ini tentu saja sangat memberatkan APBN,” tuturnya.
Arifin menegaskan, dengan program ini investor akan memiliki data yang lebih akurat terkait panas bumi di suatu daerah. Hal ini dapat mengurangi risiko kegagalan eksplorasi.
“Dengan biaya yang tidak terlalu besar, karena pengeborannya dengan alat bor yang kecil, diketahui sumber panas yang ada di dalam perut bumi itu sehingga kemudian nanti investor yang masuk itu lebih mengetahui data kepastiannya untuk mengurangi risiko kegagalan,” tuturnya.
Salah satu program eksplorasi pengeboran pemerintah yaitu pada prospek Cisolok-Cisukarame di Sukabumi. Potensi sumber daya panas bumi Cisolok-Cisukarame diperkirakan sebesar 45 MW dengan rencana pengembangan PLTP sebesar 20 MW.
Dalam waktu dekat juga akan dimulai pengeboran eksplorasi pada prospek Nage di Nusa Tenggara Timur (NTT). Konfirmasi cadangan melalui penambahan data survei geosains juga diupayakan untuk menekan risiko pengembangan panas bumi.
Yang jelas, program itu merupakan upaya pemerintah agar bisnis di energi, termasuk di EBT, bisa bergerak lebih kencang lagi. Harapan keamanan pasokan energi yang bersih dan bebas emisi di masa depan adalah melalui optimalisasi penggunaan energi baru dan terbarukan.