Pidato tersebut dimaksudkan guna memberikan motivasi, dorongan, pecutan semangat bagi para petinggi wilayah ini agar lebih giat bekerja dan rajin dalam melayani masyarakat TTS. Selama ini pemerintahan TTS dikenal lamban dalam melakukan percepatan pembangunan.
Etika Komunikasi dan Budaya
Seorang Pakar Komunikasi, K. Bertens menjelaskan bahwa etika adalah nilai-nilai dan norma-norma moral, yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam budaya komunikasi masyarakat TTS ada pola komunikasi yang sudah menjadi habitus bagi masyarakat setempat. Salah satunya adalah, sikap permisif-nya yang sangat tinggi/ selalu mendahulukan orang lain. Masyarakat TTS mempunyai kebiasaan yang telah mendarah daging, selalu membiasakan komunikasi diberikan kepada lawan bicara, mereka terkesan lebih banyak mendengar, jarang berdebat, jarang membantah, jarang protes, jarang mengeluarkan kata tidak, walaupun terkadang berlawanan dengan unsur logika dan isi hatinya. Sikap permisif yang demikian kuat akan lebih besar ditunjukan pada Kase/ Amnemat (istilah bagi pendatang).
Sikap komunikasi yang demikian kemudian berdampak pada pola pikir dan tindakan yang seringkali acuh/cuek/tindakan pembiaran terhadap apapun yang ada di sekitarnya. Habitus ini kemudian dibawa dalam semua sendi kehidupan di TTS, termasuk dalam ruang pelayanan publik, lembaga pemerintahan eksekutif /legislatif.
Dalam teori komunikasi publik, salah satu prinsip dasar komunikasi adalah kesopanan dan kesantunan dalam menyampaikan pesan. Apa yang telah dilakukan Sang Gubernur telah mengesampingkan prinsip ini, penggunaan bahasa yang kasar tidak sesuai dengan standar nilai/norma yang berlaku di masyarakat secara umum. Walaupun, bagi Sang Gubernur dan beberapa kalangan hal ini dibenarkan. Hal ini telah melewati standar batas norma/ nilai komunikasi itu sendiri, apakah tidak ada istilah lain yang dapat digunakan dalam menyoroti kinerja pemerintahan TTS ?