Di sektor energi, menurut Presiden Jokowi, Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Indonesia juga akan memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.
“Tetapi, hal itu tidak cukup. Kami sebagai negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan potensi dihijaukan, negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon (sink) membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju,” Presiden Jokowi menegaskan.
Indonesia sendiri telah berinisiatif memobilisasi pembiayaan iklim yang inovatif seperti pembiayaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau (obigasi berbasis syariah). Namun, menurut Presiden Jokowi, penyediaan pendanaan iklim seraya menjalin kemitraan dengan negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Negara-negara ketiga, negara berkembang dan emerging tak bisa jalan sendiri, perlu dukungan negara maju.
“Indonesia akan sanggup berkontribusi lebih cepat menuju net-zero emission dunia. Pertanyaannya, berapa besar kontribusi negara maju ke kami? Transfer teknologi apa yang diberikan, program apa yang bisa didukung untuk pencapaian target SDG-s yang kini terhambat akibat pandemi?” Presiden Jokowi menambahkan.
Lebih jauh, Presiden Jokowi mengatakan bahwa ihwal carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari penanganan perubahan iklim. ‘’Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, adil, dan inklusif harus diciptakan,” kata Presiden Jokowi, yang dalam forum tersebut didampingi oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.