Kenapa pers harus merahasiakan identitas anak yang menjadi pelaku, korban, dan saksi hukum?
Kamsul menjelaskan salah satunya, demi menjaga nama baik sang anak. Karena, pengungkapan identitas anak ke publik tersebut, sangat berpengaruh bagi tumbuh kembang anak di masa depan, berdasarkan UU Perlindungan Anak dalam Pasal 64 huruf i, yaitu penghindaran dari publikasi atas identitasnya.
Acuan lainnya, tambah Kamsul, adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) dalam Pasal 19, bahwa identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik.
“Bahkan, ditegaskan secara hukum, setiap orang memang dilarang untuk membocorkan rahasia identitas anak korban, termasuk orang tua anak korban, di media cetak dan elektronik.” jelasnya
Jika dilanggar, lanjut Kamsul, maka yang bersangkutan dapat dipidana. Disebutkan, setiap orang yang melanggar kewajiban tersebut, diancam pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp 500 juta rupiah. Sejauh ini, memang belum terdengar kabar, ada pihak anak yang menuntut media, dalam konteks pengumbaran identitas mereka ke publik.
Meski demikian, itu bukan berarti insan pers bisa menabrak terus-terusan aturan mengenai perlindungan identitas anak yang dimaksud.
“Justru, seharusnya, pers menjadi pelopor perlindungan identitas anak dalam pemberitaan. Apalagi di era digital kini, jejak digital anak yang berhadapan dengan hukum, bisa tersebar sangat luas ke publik.” kata Kamsul.