Menurut Suahasil, pengenaan pajak karbon akan diimplementasikan secara bertahap. Pada 2022 hingga 2024, pajak karbon diterapkan untuk sektor pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU batu bara.
Kemudian pada 2025, implementasi pengenaan pajak karbon dilakukan secara penuh dengan tahap perluasan sektor sesuai dengan kesiapan masing-masing industri.
Pertanyaannya berikutnya adalah bagaimana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero dan pelaku industri kelistrikan menyikapi lahirnya kebijakan baru soal pajak karbon tersebut?
Berkaitan dengan tuntutan itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada webinar diseminasi RUPTL PT PLN (Persero) 2021-2030, Selasa (4/10.2021) di Jakarta, juga menegaskan bahwa pemerintah telah menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030. RUPTL itu pun cukup memberikan penjelasan bahwa Indonesia terus berusaha memenuhi komitmennya terhadap isu perubahan iklim.
Perbesar Porsi
Bentuk komitmen berupa memperbesar porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT). Target bauran EBT dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) adalah 23 persen pada 2025. Saat ini porsi EBT baru mencapai 14 persen hingga akhir 2020.
“RUPTL PLN 2021-2030 saat ini merupakan RUPTL lebih hijau karena porsi penambahan pembangkit EBT sebesar 51,6 persen, lebih besar dibandingkan pembangkit berbasis fosil dengan porsi 48,4 persen,” ujar Arifin.
Meskipun RUPTL PLN itu menyebutkan perusahaan plat merah akan mendongkrak porsi pembangkitan yang lebih hijau, namun, program pembangkitan dengan kapasitas 35,000 MW tetap berjalan. Dari program itu, dalam dua tahun ke depan, ada sekitar 14.700 MW—sebagian besar dari PLTU batu bara—yang akan masuk ke jaringan pembangkitan PLN.