Tapi tidak demikian dengan semangat yang dimiliki para pengrajin ulat sutera dalam mewujudkan mimpi untuk membuat kain sutera dengan kualitas terbaiknya. Tak hanya keajaibannya menghasilkan serat benang sutra yang indah dan kuat, ulat ini mengajarkan soal kemampuan adaptasi dan keseimbangan kehidupan. “Kehidupan baru setelah kematian”.
Adapun bibit ulat sutera berupa telur selama ini didatangkan dari Sopeng, karena tak setiap pembudidaya bisa membibit sendiri dengan alasan menjaga kualitas dan mencegah penyakit atau belum tahu teknik pembudidayaannya, termasuk sarana prasarana laboratorium pembibitan.
Pertumbuhan setelah telor menetas menjadi ulat kecil, lalu tumbuh makin besar sampai berganti kulit. Mereka terus makan daun murbei dengan lahap sampai metamorfosis menjadi kepompong. Dalam tahap ini ulat tak makan daun lagi.
Sejumlah kokon yang disiapkan jadi indukan akan melakukan hal menakjubkan untuk jadi larva dan bertelur. Ulat melubangi kokon persis di titik dimulainya serat pertama diproduksi. Beda dengan ulat yang bermetamorfosis jadi kupu-kupu, ulat sutra tidak jadi kupu-kupu. Dari 10 kg kokon/kepompong saat dipintal menjadi 1 kg benang.
Perlu diingat juga bahwa keberhasilan kegiatan pengrajin sutera sangat ditentukan oleh kegiatan budi daya tanaman murbei (Morus spp). Oleh karena itu antusiasme petani tanaman murbei akan menjadi kata kunci untuk menjaga kontinuitas produk.
Namun hal ini tentu tidak mudah seperti membalikan telapak tangan, karena memerlukan ketekunan dalam melakukan sosialisasi agar warga mau memanfaatkan setiap jengkal lahan yang ada secara produktif dan tepat guna. Dengan demikian, salah satu alternatif langkah yang bisa diambil dengan mengembangkan tanaman murbei hibrid hasil persilangan yang memiliki produksi daun yang tinggi, sehingga jumlah ulat sutera yang dipelihara harus disesuaikan dengan produksi daun yang tersedia.