Jakarta, Transnews.co.id – Di sektor energi, misalnya, sebagaimana disebutkan Kepala Negara, Indonesia terus melangkah maju antara lain dengan pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, serta pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), termasuk biofuel.
Dalam konteks pengembangan biofuel atau bahan bakar nabati, negara ini memang telah lama memulainya. Pada 2006, Indonesia telah menerbitkan kebijakan energi nasional yang menetapkan bahwa biofuel harus meliputi sekurangnya 5 persen dari bauran energi nasional pada 2025.
Pada 2008, kebijakan biofuel Indonesia mengalami perkembangan besar lainnya pada saat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan kewajiban penggunaan biofuel di sektor transportasi, industri, komersial, dan pembangkit listrik, dengan target progresif untuk pencampuran biofuel selama periode 2008–2025.
Sejalan dengan tujuan untuk mendorong biofuel menjadi bahan bakar transportasi, biasanya biofuel ini dicampur dengan bahan bakar fosil dalam berbagai persentase kandungan bahan (konsentrasi).
Campuran 5 persen biofuel dan 95 persen bahan bakar fosil biasanya disebut B5, sementara campuran 20 persen biofuel disebut B20, dan seterusnya.
Pada 2020, Pemerintah Indonesia menargetkan pencampuran 30 persen biofuel ke dalam bahan bakar solar, atau yang biasa disebut sebagai program B30.
Meskipun konsumsi biodiesel diprediksi turun sekitar 13 persen dari alokasi produksi pada 2020, akibat adanya perlambatan ekonomi sebagai dampak pandemi Covid-19, Pemerintah Indonesia masih terus melanjutkan program B30. Pemerintah menargetkan peluncuran program B40 pada 2022.