Dalam buku ini dipilah menjadi lima bab. Tiap bab terdiri dari 8-11 judul, rata-rata perjudul 5 halaman uraian, jadi tidak terlalu bertela-tele dan mudah dicerna, karena disajikan secara ringan dan bertabur dalil naqli (qur’an hadis), serta petikan kalimat berhikmah yang bernas. Hal ini wajar, apalagi disebutkan oleh penulis bahwa tulisan ini era 2000-an pernah dimuat di media online, jadi boleh dibilang serupa artikel kreatif.
Di halaman-halaman awal, ada satu kisah yang sebenarnya sayang diceritakan hanya sepenggal, yakni kesempatan penulis sebagai buruh rendahan dapat kesempatan berjabat tangan (open house) dengan Sultan Bolkiah (hl.4).
Kolaborasi pencermatan memang tersaji di buku ini. Kecakapan menangkap fenomena, kejelian mengutip petuah, kefokusan merekam klip-klip kejadian, serta proses komunikasi yang rupanya terjalin dengan berbagai cara, telah membuat penulis memiliki banyak simpanan bekal untuk dijadikan bahan berkisah.
Betapa penulis kecewa, ketika suatu hari libur sudah diagendakan untuk ke warnet, browsing, menulis dan mengirimkannya ke media di Indonesia, ternyata yang terjadi malah harus kerja ekstra oleh majikan bahkan nyaris putus asa dan bersumpah serapah.
Banyak ditemui informasi menarik berkenaan dengan aktifitas buruh migran yang semata tidak hanya kisah dirinya, tetapi para kisah sesama buruh migran baik perseorangan maupun kelompok dengan ragam aktivitasnya. Sikap kritis penulis juga tergambar jelas, baik terhadap fenomena negeri islami yang tidak membumi dalam sikap dan akhlak warganya, bahkan terhadap artis negeri merah putih ketika diundang pentas nyanyi dan tersimpulkan bahwa ada fenomena yang kerap ‘munafik’ artis muslim itu? Bagai bunglon demi tujuan surga dunia (hl. 114).