Awalnya Salman megira para penulis puisi (penyair) akan berbicara lantang bagaimana konflik Aceh telah merenggut nyawa, menyita keindahan hingga menghapus waktu-waktu yang selayaknya indah. Tetapi puisi-puisi yang muncul dalam proses kurasi justru melihat lebih jauh dan beragam tentang Aceh dengan kurun waktu yang cukup panjang.
Dari puisi-puisi yang terangkum dalam buku ini sesungguhnya dapat dilihat sebuah kejayaan, kemamukran, perjuangan, kemudian konflik hingga bencana Tsunami dan berakhir dengan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Negara Republik Indonesia.
“Diantara fase-fase tersebut ada hal lain yang tidak tanpak dalam kepermukaan dan para penulis puisi melihatnya sebagai sesuatu yang esensi. Yaitu tentang nilai-nilai kemanusiaan, cinta, harapan-harapan, heroisme-pengkhianatan serta “keingkarjanjian” negara dan lain sebagainya,” ungkap Salman.
15 tahun perjanjian damai itu, menurut Salman memang haru, tetapi ternyata semua belum sepenuhnya “damai” di mata para penulis puisi, karena ingatan dan apresiasi-empati mengaktualisasikan kembali apa yang selayaknya tidak terjadi di negeri indah ini.*** (pege)