Sastra Koran Bukan Sastra Picisan

Susahnya dimuat pada koran, seperti pengalaman banyak orang, juga merupakan bukti lain redaktur tidak asal muat. Bagaimanapun tipisnya itu selera pasti jauh lebih baik dari mereka yang tidak berkecimpung dalam dunia keredaksian tersebut.

Banyak orang juga tetap percaya, sastra koran (baca pemuatan karya sastra kita di koran) menjadi tolok ukur kemampuan seseorang dalam berkarya. Pada gilirannya, melambungkan nama seseorang dalam kaitannya dengan popularitas.

Para penyair yang berkiprah pada era 1980an menyadari benar arti penting sastra koran. Forum-forum yang mengemuka pada masa itu dari Penyair Muda di Depan Forum (1975), Forum Penyair Jakarta (1981), Puisi Indonesia (1983), Puisi Indonesia (1987), dan Mimbar Penyair Abad 21 (1996), nyaris para pesertanya diambil dari mereka yang aktif menulis di koran.

Di Jakarta, pernah ada koran yang namanya Berita Buana (kini almarhum). Di era 80an itu, para penulis memang berlomba-lomba untuk bisa dimuat di koran tersebut yang diredakturi (redaktur tamu) Abdul Hadi WM, penyair dan profesor sastra yang dosen Universitas Paramadina.

Tak heran jika ada bisik-bisik dari para penggiat sastra berusia muda — saat itu — bahwa dimuat di BB adalah pemtahbisan diri kita jadi penulis sastra. Produk dari masa ini banyak dan sampai kini terus berkiprah di jagat sastra Indonesia seperti Isbedy Stiawan ZS, Nirwan Dewanto (Bandung), dan Acep Zamzan Noor (Tasikmalaya).

Indonesia pernah memiliki penghargaan bernama Anugerah Sastra Pena Kencana. Penghargaan ini menyediakan hadiah uang untuk puisi dan cerita pendek (cerpen) terbaik yang terbit di media cetak.

Catatan Redaksi: Apabila ada pihak yang merasa dirugikan atau keberatan dengan penayangan artikel dan/atau berita tersebut di atas, silahkan mengirim sanggahan dan/atau koreksi kepada Kami sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (11) dan (12) UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers melalui email: transnewsredaksi@gmail.com