Ia mempertanyakan kenaikan harga pupuk yang mengikuti kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit. Petani sawit meminta pemerintah untuk segera mencari tahu penyebab kenaikan harga pupuk dan meminta pabrik pupuk pelat merah jangan ikut-ikutan menaikkan harga harus menjadi control, bukan sebaliknya.
“Kami (petani sawit) tidak pernah menuntut pupuk subsidi, hanya meminta pemerintah serius dan fokus mengontrol harga pupuk yang non subsidi,” terang dia.
Gulat mengatakan Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) terancam gagal karena anggaran biaya PSR sudah berantakan akibat kenaikan harga pupuk. Sebagai contoh pupuk urea sudah dipatok Rp4.500/kg sebelum adanya kenaikan. Namun sekarang sudah mencapai di atas Rp6.000/kg.
Dikatakan Gulat, selama ini kami petani sawit sdudah sangat tertekan dengan Kawasan Hutan. Sekarang justru tambah lagi persoalan harga pupuk KLB (kejadian luar biasa), di saat yang bersamaan kementerian terkait (BUMN, KEMENTAN) semua terkesan tiarap.
Harga pupuk dipengaruhi tiga faktor utama yakni nilai tukar rupiah terhadap dollar, transportasi dan bahan dasar pupuk tersebut. Dan menurut pengamatan kami, ketiga faktor tersebut dalam keadaan normal, kecuali bahan baku yang sedikit naik, namun hal ini idealnya tidak mengakibatkan naik signifikannya harga pupuk.
“Kami berharap Komisi IV DPR RI bisa segera memanggil kementerian terkait untuk mengevaluasinya, ini sudah KLB” ujar dia.
Harga pokok produksi (HPP) tandan buah segar (TBS) petani sewaktu harga pupuk masih normal Rp 794 per kg. “Namun HPP kami sekarang Rp1.350 per kg karena 58 persen pengeluaran untuk biaya pupuk,” kata Gulat.