Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad mengatakan, pendekatan kasus ini adalah rasis yang menurut konvensi Internasional tidak boleh terjadi. Karena itu, saat salah satu aktivis Aceh Haekal Afifa menemukan kesalahan terjemahan yang dapat memantik konflik ini ditarik dalam proses legal, dia merasa perlu mendampingi Haekal terkait hal tersebut.
“Pada posisi ini kita sudah baca surat balasan dari Google. Memang secara kewenangan perbaikan tidak ada di sini. Namun menurut prinsip hemat kami secara hukum Indonesia siapapun adalah ujung tombak dari perusahaan tersebut, terlepas dari kewenangan dan fungsinya,” jelas dia.
Dia juga mengatakan sulit untuk memahami cara mesin google terjemahan ini mendeskripsikan Aceh karena polanya tidak statis. Akhirnya, dengan terjadinya hal seperti itu, terjemahan Aceh di google translate membuat ribuan terjemahan yang menjurus kepada hal yang negatif.
“Jadi ini kondisi yang sangat rumit karena Aceh punya sejarah panjang di dunia. penulisan Aceh itu sendiri cukup tinggi di semua literasi dunia. Apalagi bahasa yang diisikan untuk terjemahan hanya tiga bahasa, yakni Jawa, Sunda dan Bali, yang akhirnya membatasi Indonesia yang berbeda-beda budaya dan suku,” jelas dia.
Olehnya, dia meminta pihak Google translate agar tidak ada sistem saran perbaikan bahasa, melainkan google harus mau turun langsung dan bekerja sama dengan balai bahasa Aceh misalnya untuk kemudian menterjemahkan bahasa Aceh secara benar.
Sementara, Head of Government Affairs & Public Policy, Indonesia di Google, Putri R. Alam menyampaikan penyesalan dan permohonan maaf kepada seluruh masyarakat Aceh atas kesalahan dan kekeliruan teknologi translate tersebut.